POST : 15 Maaf, Sam.

Assalaamualaikum...
Bagaimana kabar Kawan-Kawan yang baik hatinya?
Semoga selalu berada dalam lindungan Allah swt. Amin.


Sore ini, elegi kisah tentang poligami akan saya sajikan. Entah kenapa ilham ini tiba-tiba datang.
Selamat membaca.


Pic from Google Image (Link : http://orig09.deviantart.net/a3ca/f/2009/278/e/7/kakashi___the_sky_is_crying___by_dakita.png)



AY, AIR MATA YANG BERDERAI.


Tentang kisah yang banyak dibincangkan orang, Kamil duduk terdiam. Bukan tentang kisah cinta yang diidam-idamkan pasangan, karena dirinya kini memilih untuk berpoligami. Istrinya yang manis bermata sembab, sudah pastilah ia menangis semalaman. Sebelum meloloskan keputusan terberat dalam hidupnya, mengizinkan Kamil menikah lagi. Kamil sendiri justeru bimbang, bukan tentang kemampuan adil atau tidaknya. Ia tidak menyangka sang istri, Ay, begitu tersakiti dengan permintaan izin menikah lagi.


Padahal sejak mereka jadi pengantin baru, dua tahun lalu, Ay beberapa kali bersenandung mau dimadu. Karena didera rasa bersalah belum bisa memberi keturunan pada suami. Tavana, calon madu Ay asyik bermain ponsel pintar di atas sofa bundar. Tak ia hiraukan pergulatan hati sepasang suami istri di depan matanya.


"Dimana Mas bertemu dengan Tavana?"

"Itu, di Bar Ay."

"Mas Kamil mengunjungi Bar?" sahut Ay terbelalak.

"Hari itu ada rapat disana Ay, tidak sengaja aku bertemu Tavana."

"Dan langsung jatuh cinta?"

"Aku menyelamatkannya kala itu, ia ingin kembali ke jalan yang benar. Tak bisakah kita menolongnya?"

"Aku memberi kebebasan pada Mas Kamil untuk menikahi wanita yang menurut Mas pantas dan baik."

"Tavana juga baik, Ay. Kita yang akan membimbingnya."


Ay mengangguk pelan sebelum beranjak ke biliknya. Sepantasnya ia menangis lagi, karena yang akan menjadi madunya bukan wanita lebih sholehah darinya, tapi kupu-kupu malam yang memang lebih elok parasnya. Kulitnya putih, mata bulat dengan pupil coklat, Tubuhnya tinggi, rambut lurus dengan poni mengarah ke depan mata. Apalah Ay yang berambut kriwul, mata sayu, dan postur kecil pendek, begitu pikir Ay.


Malam hari, Kamil mengantar Tavana pulang setelah makan malam. Ay yang di rumah sendiri, tak bisa menahan air mata sejak suaminya menghidupkan mesin mobil, lalu melesat jauh ke arah utara.

"Mas, Ay boleh ikut? Ay ingin melihat tempat tinggal Tavana."

"Maaf Ay, Tavana ingin berdua saja, Ay di rumah sebentar tidak apa-apa ya."

Ay yang dulu tak dibiarkan di rumah sendiri, kini seperti tak ada harganya. Ah, begitu tega. Kamilnya kini telah berubah menjadi Kamilnya Tavana. Dengan lemas ia bereskan tulang-tulang ayam yang ia masak lunak sore tadi. Piring Tavana menyisakan banyak nasi, terlalu lembek katanya, ia tak menyukai masakan Ay. Sementara ia lihat dengan mata kepala sendiri, Kamil begitu antusias menyambut Tavana, semua lauk yang terhidang disuguhkan pada Tavana, dan tentu saja ia membalas manja. Tak ingin sakitnya terlihat, Ay berpindah ke meja kecil di sudut dapur. Lalu menghabiskan sisa nasi di piringnya, sendiri, sambil tersedu ia paksa nasi itu masuk.


Malam-malam berikutnya ia habiskan untuk memandang bulan, saat mata mulai basah dan dada terasa sesak, ia mengambil wudhu dan menunaikan sholat malam. Disamping sang suami yang hatinya tak lagi ia miliki, Ay mengadu kepada Allah swt. Lirih, dalam hati kecilnya yang banyak digores luka. Takut kalau-kalau sang suami terganggu tidurnya. Ay mulai tidur jam 2 pagi, dan bangun dua jam berikutnya, kemudian memanjatkan doa lagi di belakang punggung sang imam, Kamil.


Hari pernikahan pun tiba, Tavana tampak berkilau dengan kebaya polos dan jarit motif gajah oleng pemberian Ibu Kamil. Ay sendiri tampak cerah, tak henti ia menyalami tamu yang datang dengan senyum lebar terkembang. Entah bagaimana cara ia ikhlas, juga begitu cepat menebalkan hati. Bahkan jika ditanya, Ay sendiri pasti menjawab tidak tahu.


Kamil tampak gagah mengenakan jas hitam. Jas yang sama dengan pernikahan sebelumnya. Lalu Tavana yang tidak ingin menutup rambut di hari pernikahannya, tampak tak memakai paesan apapun, rambut setengah pirang ia gelung agak ke atas, beberapa helai dibiarkan terjuntai begitu saja di belakang telinga. Tak ada ronce melati, Tavana sudah wangi sejak pagi, kecantikannya memang tidak bisa dianggap remeh. Namun bukan hanya itu kiranya yang berhasil memikat hati Kamil. Kamil sangat terpesona pada kedipan mata Tavana.


Malam harinya, Ay memutuskan menginap di rumah sahabatnya, Aisyah. Rencananya ia berada disana selama dua hari sembari menemani Aisyah tatkala sang suami dinas ke luar kota. Tentu saja ia berangkat setelah memasak makan malam untuk sang suami dan madunya. Kamil yang tak tega, menjemput Ay pada hari pertama. Ay tahu watak suaminya, lembut serta penuh perhatian berbaur kasih sayang. Ah, siapa wanita yang tidak meleleh saat diperlakukan seperti itu. Sayang, suami yang sangat Ay cintai, ternyata sanggup berbagi kasih dengan wanita lain.


Malam pertama Ay tinggal serumah dengan madunya, tak disangka pertahanan yang ia bangun roboh lagi. Diatas sajadah putih yang terbentang, Ay menangis.


**


"Tavana, ayo ke pasar. Kita belanja untuk masak makanan kesukaan Mas Kamil."

"Mbak Ay saja yang berangkat. Aku lelah." sahut Tavana enteng.

Jadilah Ay setiap hari yang menjalankan tugas istri. Sementara Tavana tetap tak bisa lepas dari ponsel pintarnya. Kamil sendiri tahu itu, dengan lembut ia nasehati istri keduanya untuk membantu Ay yang sedang mengosek kamar mandi. "Ah, jangan itu. Yang lain saja." jawab Tavana untuk semua hal yang diperintahkan suaminya.


Semua itu masih baik, selama Tavana tak membantu sama sekali dan bersikap bak tuan putri, Ay tak masalah. Ia sudah menanggap Tavana sebagai adiknya sendiri. Tapi malam ini, di bulan ketiga pernikahan Kamil dan Tavana. Tavana pergi dari rumah dengan kesal, "Dia bilang mau ke Bar." Ay berkata pada suaminya setelah menghidangkan secangkir teh hangat. Kamil lekas beranjak meninggalkan cangkir yang masih berkepul, tanpa menyentuhnya sama sekali, ia hendak menyusul Tavana, mencegah istri keduanya kembali ke jalan yang salah. Bersama Ay yang memaksa ikut, mesin mobil dihidupkan kasar, dan cara Kamil membawa mobil, seperti orang sedang emosi, atau Kamil sedang khawatir? Atau marah karena Ay tak lekas memberitahu? Entahlah.

Benak Ay dipenuhi tanda tanya, di perjalanan suaminya hanya membisu. Seakan seluruh pikirannya tergadai pada wanita yang kini tak ada di sampingnya.


Sesampai mereka memasuki tempat temaram itu, Kamil melangkah sangat cepat meninggalkan Ay jauh di belakangnya. Seakan tidak mengizinkan kaki kecil Ay untuk menyusulnya. Tavana terlihat sedang menari sendiri, dengan sebotol vodka di genggaman kiri. Kamil merengkuhnya, lalu menatap Tavana penuh kasih. Tanpa ia sadari, Ay tertunduk lemas di sudut ruang Bar itu.



 ***



"Aku cuma menjemput Tavana, Ay."

"Mas Kamil tidak usah khawatir, Ay tidak cemburu. Tavana memang istri Mas Kamil juga, 'kan?." Diusap air mata yang lolos dari pelupuk mata. Ah iya, begini ternyata kehidupan poligami. Disengaja atau tidak, tetap ada yang tersakiti, itu pasti. Sementara Tavana, sampai matahari berada di tengah kanvas awan, ia belum bangun juga. Bukan karena pengaruh alkohol semalam, Tavana memang makhluk manis yang kurang paham aturan berumahtangga. Ay sudah maklum dengan sifat kekanakan madunya.


Dan tiap harinya tetap sama, setelah sholat shubuh berjamaah dengan Kamil, Ay berangkat ke pasar untuk membeli sayur dan buah kesukaan Tavana, Kamil yang memesannya. Lalu Ay memasak dan membersihkan rumah, mencuci baju Kamil, juga baju Tavana. Sementara Ay melakukan pekerjaan itu sendiri, Tavana sedang lahap-lahapnya bermimpi, dibalik selimut beludru coklat yang dulu menjadi hadiah pernikahan Kamil untuk Ay.


Meski sudah ikhlas, seringkali mata Ay tetap berderai. Mengalirkan anak sungai di kedua pipinya, lalu menghasilkan senyum yang lebih kuat dari sebelumnya. Ada satu keyakinan tertanam dalam di hati Ay. Bahwa Kamil adalah suami yang baik, dan mampu menuntunnya ke surga, bersama dengan Tavana.



#END#



(Ada nama yang tersembunyi pada nama tokoh "Kamil". Aku menggunakannya untuk mendapat rasa. Lebih tepatnya nama itu yang memberi rasa, lalu menuntunku menulis sesuatu. Tahukah kawan? Saat aku menggantinya di Microsoft Word, ia bilang ada 30 nama yang kemudian diganti dengan nama Kamil. Ah, maaf Sam, lagi-lagi masih kusebut namamu. Maaf, Sam.)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POST : 18 Review Say Bread, Roti menggoda ala Indomaret

POST : 10 PENGUMUMAN

POST : 4 Tips menjadi Kakak Beradik Bahagia