POST : 19 Cerpen : Ketika Selasa Selesai
Ketika Selasa Selesai
Wak Juwari yang agaknya sudah hidup selama 65 tahun, lebih lama 3 tahun dari Minarwati Arini, istrinya, sangat jeri dengan hari Selasa. Pemilik kontrakan sepuh itu masih mengkhawatirkan hari yang sama setiap minggu.
Jika kau langsung bertanya kepada yang bersangkutan, mengenai mengapa dan bagaimana ia bisa takut pada hari Selasa, maka Wak Juwari akan menjelaskannya secara gamblang.
“Minar suka ngajak pisah di hari Selasa.”
Reaksi orang terdekat dan orang awam seperti kita saat mendengar alasannya mungkin akan menimbulkan pertanyaan baru yang lebih pelik “Hah? Kok bisa Wak?” sambil berpandang-pandangan. Seperti Suprapto dan Suwarti, pengantin baru yang mendiami rumah kontrakan Wak Juwari sekitar enam hari lalu, saat ini sedang saling pandang.
“Kok bisa Wak?” ulang Suprapto semakin penasaran.
“Ada sejarahnya, semua ada sejarahnya.” Wak Juwari tersenyum sambil mengelus jenggot.
“Apa to Wak sejarahnya?” Suwarti menimpali setelah meletakkan senampan cireng yang sebelumnya diambil dari dapur.
“Jadi dulu, waktu jaman kuliah tahun sembilan puluhan, Minar dan aku pertama ketemu. Kami KKN bersama, nah selesainya KKN itu pas hari Selasa.”
Mereka kebingungan, saling bertatapan lagi.
“Lha ya punopo to Wak kalau hari Selasa?”
“Loh kalian ndak tahu, jaman itu aku kesengsem banget sama Minar. Kali pertama aku jatuh hati. Tiap hari ketemu Minar rasanya gak ada susah sama sekali menghadapi kuliah yang berat. Terus aku kehilangan Minar setelah KKN selesai.”
“Lho apa ndak seperguruan tinggi to, Wak?”
“Yo ndak to, cuma kebetulan satu desa pas KKN.” terang Wak Juwari sambil mengunyah cireng.
“Terus Wak, gimana bisa ketemu lagi?”
“Lha yo jelas to jawabannya, kok kalian masih nanya lagi.”
“Bagaimana Wak?”
“Kami dipertemukan,”
“Dipertemukan siapa, Wak?” desak Suwarti.
“Tuhan! Wahahahahaha.”
Mereka terkekeh berbarengan.
*
“Setelah ketemu Minar lagi, aku ndak sia-siakan. Langsung aku minta diantar ke rumah orang tua Minar, ingin segera menikahinya. Tapi orang tua Minar ndak setuju karena Minar masih semester 4 kala itu. Kami lalu pacaran, tapi dulu ndak disebut pacaran.”
“Disebutnya apa, Wak?”
“Ya barengan gitu aja. Tapi semua teman tahu kalau Minar milikku, aku miliknya.”
Suprapto dan Suwarti rada tersipu, Wak Juwari tersenyum mengingati masa mudanya.
“Tapi masa itu sampai hari persandingan, pernah beberapa kali Minar minta berpisah. Lha marahnya Minar itu mesti pas hari Selasa.”
“Mungkin Mak Minar lahirnya Selasa, Wak?”
“Bukan, dia Senin pahing.”
“Sampai sekarang apa kalau hari Selasa Mak Minar selalu minta pisah, Wak?”
“Ndak selalu, tapi pernah beberapa kali. Ndak usah diceritakanlah karena apa, namanya rumah tangga pasti ada pasang-surutnya. Sekarang pas Selasa aku selalu baik sama dia.”
“Lha kalau ndak Selasa apa ndak baik, Wak?”
“Ya baik, tapi beda. Kalau Selasa levelnya lebih ekstrem.”
“O ... jadi intinya Wak Juwari ndak takut sama hari Selasa, tapi takut pisah sama Mak Minar?” simpul Suprapto.
“Seandainya ada yang tanya aku lebih takut mati apa pisah sama istriku, aku lebih takut pisah kok, To, Ti.”
“Wak cinta sekali ya dengan Mak Minar?” Suprapto akhirnya teringat untuk melahap cireng setelah sebelumnya seru menyimak cerita Wak Juwari.
“Lha ya memang gitu to? Istri memang harus dicintai to? Ya ndak, Ti?”
“Iya benar, Wak. Lha Mas apa nggak cinta aku to Mas?” Suwarti ganti menyelidiki suaminya.
“Ya cinta, Ti. Tapi kan Wak Juwari ini kayak overdosis gitu lho cintanya, kayak terlalu fanatik gitu lho.”
“Hush!” Suwarti membungkam mulut suaminya yang asik mengenyam cireng.
“Ndak tahu, To. Sudah otomatis.” tukas Wak Juwari.
**
Siang berselang, Wak Juwari pulang dengan sekantung plastik cireng dan bumbu kacang di tangan.
Minar terlihat sedang menyapu teras rumah mereka.
“Minar, kubawakan cireng untukmu. ”
“Beli di Marimar?” jawabnya menguji.
Mata kerut Wak Juwari lantas terbeliak. Cireng yang baru digigit hampir melompat mendengar nama Marimar, wanita paruh baya yang sudah dua tahun terakhir menempati kontrakannya.
“Dikasih Suprapto tadi waktu ngasih tagihan listrik, Mi.”
“Suprapto apa Marimar? Halah-halah kalau tidak dari sana kenapa Bapak kaget begitu?”
Mati aku, batin Wak Juwari. Keringat lambat laun menitik di dahinya.
“Oalah Pak, Pak. Kan sudah tak bilang urusan Marimar semuanya biar aku yang urus. Tagihan listrik lah, uang bulanan lah, biar aku yang nagih semua ke dia. Sampean ki wes tuwo kok yo. Sugeng saja yang cuma seminggu sekali antar galon ke rumahnya bisa jatuh cinta, apalagi sampean Pak? Belum lagi itu suaminya Rat-“
“Ndak gitu, Mi. Udahlah Bapak bilang tidak dari sana.”
“Weslah, Bapak ancen bandel. Temui saja dia,” Minar masuk ke rumah.
“Hah? Lho? Hah? Mi?”
Wak Juwari tidak acap masuk dan malah melihat kalender yang terpaku di dinding.
“Loh ini hari Kamis kok, kemarin lusa sudah Selasa.” gumamnya.
“Minar? Lho gimana ini?” Wak Juwari semakin kebingungan.
“Minar ... Minar, andai kau tahu betapa cintanya aku padamu.”
Wak Juwari merenung, ternyata setelah Selasa selesai, bukan berarti lantas masalah tidak dapat terjadi. Tidak ada yang keliru dengan hari Selasa, tapi kesalahpahaman dengan sang Istri yang tak cepat diurai benangnya.
“Gusti ... harus ke rumah Suprapto iki aku.” ujar Wak Juwari sambil setengah lari.
Selasa sudah bikin repot, apa iya aku harus takut sama cireng? END
###
Assalamualaikum Teman-teman, akhirnya saya bisa posting lagi haha.
Cerita ini mau dibuat nyastra awalnya, tapi enggak sanggup, akhirnya malah ngelucu tapi garing, maaf ya hehe.
Komentar
Posting Komentar