POST : 16 Anak perempuanmu juga bekerja di toko, Bu.

Bu, tadi malam kita membeli pasta gigi di minimarket swasta itu. Keadaan sudah cukup malam, lebih kurang setengah sembilan. Semalam, Ibu menggerutu kesal di parkiran setelah kantong belanja sudah kugenggam.


"Belanja diikuti terus, lagian siapa juga yang mau maling?" Awalnya aku hanya tersenyum kan, Bu?


Lalu ternyata Ibu berkata lagi saat di jalan. "Serasa jadi maling, belanja kok diawasi terus."


Sejujurnya ada rasa ngilu menyayat hati mendengar Ibu berkata seperti itu. Bu, apa Ibu memang tidak suka diikuti Mbak-Mbak pegawai minimarket tadi? Atau Ibu hanya sedang kehilangan mood karena cuaca yang dingin dan mata yang mulai mengantuk?


Bu, entah kenapa kali ini aku tidak setuju pada Ibu. Bukannya aku membela mereka. Tapi... Anak perempuan Ibu juga bekerja di toko, Bu. Aku seperti melihat diriku sendiri saat aku melihat mereka. Mata lelah mereka, dan senyum yang dipaksakan mengembang meski raga telah begitu lelah tergerus panjangnya siang. Bu, mereka hanya mengantisipasi. Kupikir itu cara yang tepat, Bu. Mereka hanya menjaga apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka mencoba belajar dari kesalahan hari-hari kemarin. Dimana seorang pembeli dengan tega menguntit barang dagangan yang telah dipajang, menyalahi kepercayaan antara pembeli dan penjual yang terjalin tanpa tulisan. Dan imbasnya tentu saja potongan pada gaji kami yang tidak seberapa.


Bu, memang Bos sudah memasang CCTV, tapi mereka para penguntit ulung tentu lebih licik lagi. Apalagi saat kami kerepotan dengan tugas yang tambahan yang Bos berikan. Lagipula, kita malah bisa mengobrol dengan mereka, bukan?
Kita tidak perlu berjalan jauh memanggil mereka saat dirasa ada yang perlu kita tanyakan.


Bu, aku jadi ingat saat itu, Ibu pernah marah karena seorang pramuniaga mengatakan bahwa celana yang Ibu cari hanya satu ukuran. Padahal saat Ibu mencarinya di rak lain, berbagai ukuran tersedia rapi di sana. Tolong jangan marahi mereka, Bu. Jujur, aku takut saat Ibu memarahi mereka. Sekali lagi, anak perempuanmu juga bekerja di toko, Bu. Aku takut besok  saat aku bekerja, mereka juga memarahiku. Membayangkannya saja sudah membuatku sedih, Bu. Ada seorang ibu datang bersama dengan anak yang sangat dikasihinya, lalu karena kesalahan yang tidak aku sadari, ibu itu lantas memarahiku di depan anaknya yang seusia denganku. Aku tidak sakit hati Bu, tapi malu. Sangat malu.

Bu, kumohon jangan melakukan itu lagi. Bisa jadi ia memang tidak paham dengan situasi pekerjaannya, atau ia lupa, atau terlalu lelah untuk mencari kedalam tumpukan beratus-ratus potong celana.


Bu, kita tidak tahu apa yang terjadi padanya beberapa menit sebelum kita datang, 'kan?


Bisa jadi gajinya baru saja dipotong untuk kesekian kalinya, bisa jadi Bosnya marah karena suatu hal, atau bahkan menambah tugas yang tidak seharusnya. Bisa jadi pula seorang pembeli yang kelewat cerewet telah menguras habis kesabaran juga tenaganya. Bisa jadi, Bu. Tiap hari kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi kepada kami. Tiap hari bermacam-macam pelanggan kami hadapi. Tiap hari, entah masalah atau berkah, selalu datang silih berganti. Bu, anggap mereka kawan kita. Atau bahkan Ibu dapat menganggap mereka seperti anak Ibu sendiri. Karena satu hal yang tidak bisa ku-elakkan, Bu. Anak perempuanmu juga bekerja di toko.


Mari memperlakukan mereka dengan biasa, Bu. Mereka pramuniaga milik Bosnya, bukan milik kita. Kurasa kita tidak perlu marah pada pramuniaga toko dan minimarket yang mayoritas lulusan SMA/SMK, Bu. Sudah cukup banyak penurun semangat mereka. Omelan Bos, sindiran pelanggan, hilangnya suatu barang, selisih uang di laci kasir, kerusakan tanpa sengaja, kesalahan manajemen, maupun kawan alumni yang sekarang kuliah di luar kota berbelanja di toko tempat kami bekerja, itu menyakitkan Bu. Belum lagi kesalahan yang murni sebab kelalaian kami.


Dalam hati kecil kami, ingin seperti mereka. Kuliah, lalu bekerja elegan seperti pegawai bank, guru, dokter, maupun pegawai di instansi pemerintah. Ingin Bu, tapi kami berpura-pura tak acuh. Bukannya tidak ingin kuliah, tapi ingin langsung bekerja. Meski pendapatan yang kami terima tidak sesuai dengan jam pulang yang terlalu larut.


Bukan tidak ingin terus berusaha, hanya saja ingin mensyukuri apa yang ada.


Bu, tahukah? Mimpi kami selalu  lebih tinggi setiap harinya. Kami ingin bekerja enak, pulang petang (bukan malam), dan hasil dari itu dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Aku ingin kami saja yang bekerja. Aku ingin penghasilan barokah untuk mencukupi keluarga kita. Biar Ayah dapat pulang dari perantauan, dan menetap bersama kita tanpa perlu terbebani pikiran tentang materi. Tapi apa mungkin? Aku selalu sedih memikirkannya, Bu. Bagaimana mungkin penghasilanku yang bahkan tidak ada setengah dari gaji Bapak bisa memenuhi segala kebutuhan kita?

Bu, tentu saja do'a darimu terus aku harapkan. Terkadang secuil cobaan hidup ini membuatku lupa bersyukur. Padahal belum pula aku merasakan kerasnya dunia macam Ibu. Bu, maafkan aku atas kelancangan ini. Aku hanya anak yang kerdil pengalaman juga rentan ketakutan.

Bu, sungguh Allah subhanahu wata'ala maha kaya, bukan? Allah telah menjamin setiap rizki untuk hamba-hamba-Nya dengan teramat adil. Semua sudah dibagi berdasarkan porsinya masing-masing. Mungkin Tuhan sedang melindungiku, Bu. Aku tidak dihadapkan pada banyak uang dan jabatan tinggi karna bisa saja aku kalap. Lalu menyalahi hak yang seharusnya bukan jadi milikku. Ajari aku bersyukur, Bu. Semangati aku untuk terus bergerak, berusaha menjemput rizki tersebut. Do'akan aku, Bu. Terus do'akan anak perempuanmu agar berhasil di kemudian hari. Jangan pernah bosan, Bu.





Masih di sini, hati yang meradang...
TempatMonokromAbu-Abu,18Juli2017



Komentar

Postingan populer dari blog ini

POST : 18 Review Say Bread, Roti menggoda ala Indomaret

POST : 10 PENGUMUMAN

POST : 4 Tips menjadi Kakak Beradik Bahagia