POST : 12 HOLA 2017 + ENDING 'CERITA HOROR PERTAMA' on Post 09

Holaaa!
Tidak terasa sudah 2017. Maret juga sudah hampir pergi. Hiks  ;(
Artinya badan ini tambah tua. Hanya saja belum juga dewasa. Hiks  ;(

Ayolah! Buang semua risau yang melandai di hatimu. Gantikan dengan desau semangat, Raih obor olimpiade. Sulut emosi untuk kejar cita-cita. *Ah, lebay?! Biarin!

Agak-agak puitis ya, beberapa waktu lalu saya memang bergabung dengan grup kepenulisan di Facebook. Namanya KBM (Komunitas Bisa Menulis). Sebenarnya itu bukan kali pertama saya mengenalnya. Ini seperti cinta lama yang bersemi kembali. Sahabat SMK yang mengenalkannya. Maklum, saat itu cita-cita kami sama yaitu jadi seorang penulis. Tapi tapi tapi, sekarang sudah berbeda. Ia tidak lagi hobi menulis. Karena apa? Saya. Hiks  ;(

Ini mulai tidak lucu. Menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Sudah ada tiga emot menangis disana.

Tadi siang saya mendapat piagam penghargaan sebagai peserta di event menulis puisi. Tapi bukan di KBM, namanya Laskar Literasi. Terhitung cukup muda, tapi sudah cukup banyak anggota bergabung. Rata-rata penghuninya kawan KBM juga. Kemarin malam pun saya bergabung di grup kepenulisan baru, namanya Tarian Pena. Anggotanya juga sama, mayoritas penghuni KBM.

Piagam Penghargaan dari grup kepenulisan Laskar Literasi, sebagai apresiasi karena telah mengikuti event.  Untuk pemenang tentu saja juga ada hadiah.


Grup literasi memang tempat yang sangat bagus untuk menimba ilmu. Saya jadi ingin  setor tulisan ke blog pribadi. Beruntung saya masih ingat akses masuk kesini. Tapi resikonya, saya tidak bisa mendapatkan respon. Tidak ada kritik dan saran yang bisa saya jadikan pelajaran. Bahkan ada yang membaca? Saya yakin tidak. Setidaknya saya bahagia bisa membaca tulisan saya sendiri. Ahay!

Saya bahagia ketika bisa menyelesaikan satu judul. Entah itu cerpen maupun puisi. Saya masih belajar. Apalagi jika berhasil menamatkan novel. Itu tetap menjadi cita-cita saya. Maaf saya egois kawan. Walaupun sudah satu tahun bekerja benar-benar membuat saya kagok. Artinya kaget, terkejut, juga heran. Tidak biasa menerima tekanan dan mengambil tanggung jawab. Tidak biasa mengambil keputusan, apalagi harus cepat dan tepat, BBK -Benar Benar Kagok. Dengan menulis, batin ini merasakan sedikit kebahagiaan. Seperti saya jadi orang lain. Bukan diri saya yang rancu. Saya mencintai tokoh-tokoh dalam cerita saya, juga pekerjaan saya. Saya rasa memang hidup harus seimbang. Jalan adalah tempat pengalihan bagi saya. Saya dapat bernyanyi, melamun, juga mengumpat di sana. Akan tetapi  masalah rumah akan menguap di perjalanan menuju kantor. Begitu juga sebaliknya, masalah kantor akan memuai di perjalanan pulang. Saya pikir akan seimbang selama bisa melakukan itu.

Bahasanya beda ya?
Sekali lagi saya masih belajar.

Baiklah, untuk memompa semangat saya akan mencoba meneruskan ending cerita horor pertama yang berjudul "Anak Angkat". Agar sedikit banyak hutang saya terlunasi. Juga, fan fiction tentang Bigbang sepertinya tidak bisa saya lanjutkan. Khayalan saya terlalu tinggi dan akhir-akhir ini saya juga sedang berusaha melupakan K-pop. Meskipun kecantol juga dengan BTS dan Twice, tapi setidaknya saya tidak jadi penggemar garis keras. Hanya mendengarkan lagunya di masa-masa suntuk (baca:ngantuk).

Setelah cerita horor pertama, tentu saja ada "The Baper Story" yang menunggu untuk dirampungkan. Gara-gara kerangka yang hilang tertiup angin, saya jadi tidak ada semangat menamatkannya. Mohon doa restu kawan! Juga setelah ini akan ada "Untuk Shalorina", dan beberapa judul lain yang berkelebat di kepala. Doakan saja.

Tentang cerita, ada satu nasehat yang selalu terngiang dari kawan grup :
"Jangan buat cerita jadi cacat."
(Cocok untuk saya yang suka terburu-buru dan tidak memperhatikan runtutnya narasi).

Tentang puisi, juga ada satu nasehat.
"Kita menulis untuk pembaca, buat mereka mengerti."
(Cocok untuk saya yang suka memberatkan diksi, memaksa indah, tapi tidak nyambung).

Nasehat tadi ada di kolom komentar postingan saya. Benar-benar ditujukan untuk saya. I like it! Itulah untungnya bergabung di grup kepenulisan. Ayo gabung!

Beberapa cerita akan terus disunting demi perbaikan.
Oh, ya!
Jangan lupa!
Keep calm and stay baper.

Selamat menikmati cerita yang panjang ini ^^



---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
CERITA HOROR PERTAMA : ANAK ANGKAT
Chapter : II (end)
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------




Desau angin melewati kaca jendela mobil yang dibiarkan sedikit terbuka. Menerpa bebas wajah Bihan, sesekali juga menerbangkan rambutnya yang mulai panjang. Bihan tidak tahu jalan ini. Ia tidak ingat arah ke panti kuno itu. Sudah 3 jam perjalanan, rumah orang tuanya benar-benar jauh dari panti. Harapan Bihan, suasana yang didapat di rumah orang tuanya juga jauh dari rumah lamanya, panti asuhan.
Bibirnya mengatup gigi. Dengan mata tak henti menjelajah bagian dalam mobil ayahnya. Beberapa kali sang ayah menawari minum pada Bihan. Ia meminumnya dengan semangat. Bukan karena haus, tapi karena lapar. Sudah sesore ini, ibu panti belum memberi makan. Ia biasa minum, saat perutnya merongrong lapar.
Melihat Bihan mulai bosan, sang ayah memutar kartun kancil di dalam mobil. Bihan berteriak girang. Perjalanan masih terlampau jauh. Anak malang itu tertidur.

“Bihan, bangun! Kita sudah sampai di rumah.” Sang ayah mencolek lembut. Dengan mata mengerjap Bihan menuruni mobil. Senja mengelana di atas rumah orang tuanya. Lampu-lampu mulai menyala. Ia terkejut saat memandangi rumah barunya. Letaknya memang di tengah kota, tapi suasananya tak jauh berbeda dengan panti asuhan. Kelam dan mencekam.

“Ayah, ini rumah kita?” tanya Bihan polos.

“Iya sayang. Kamu suka?” sahut sang ayah antusias. Sudah lama ia mendamba kehadiran anak di rumahnya.

“Ayah, Ibu mana?” Bihan menambah pertanyaannya. Tak acuh pada pertanyaan sang ayah. Karena sejujurnya, ia tidak suka pada rumah barunya.

“Ibu ada di dalam. Ayo masuk, Sayang!"


Langkah Bihan gontai. Digandeng tangan sang ayah erat, dengan wajah yang menyiratkan ragu.
“Ayo, Nak! Jangan takut.” Sang ayah tersenyum.

Rumah orang tuanya sangat besar, dilengkapi dengan halaman yang luas. Sayang, model rumahnya begitu klasik, terkesan menyeramkan bagi sebagian orang. Interiornya tak terlalu banyak. Rajutan bergambar anak kecil banyak dipajang di dinding, terbingkai rapi oleh kaca bening. Juga lemari tua yang luar biasa besar. Bihan jarang melihat interior seperti itu. Baginya semua itu aneh dan asing.

“Ibu mana?” tanya Bihan sekali lagi.
“Ibu ada di kamar. Itu kamarnya.” sahut sang ayah sambil menunjuk sebuah pintu di ujung ruangan. Pintu itu dihiasi ukiran di sepanjang daunnya. Ada hiasan pernik yang terangkai indah, terbuat dari batu zamrun berkilauan. Aroma melati menyengat hidung Bihan, disusul aroma minyak yang aneh, anyir, busuk.

Sang ayah membuka kunci. Krak.
Aneh, kenapa kamar kedua orangtuanya sangat sulit dibuka, seperti tak pernah dibuka. Sejak pintu menganga, aroma itu semakin menjadi-jadi. Rasanya sama seperti ada bangkai tikus di loteng panti, bedanya, aroma itu beradu dengan wangi bunga yang membuai. Bihan tak kuat menahannya, kepalanya berkunang-kunang. Juga karena ia baru bangun tidur dan kelaparan, badannya terasa lemas. Seluruh kamar terselimuti gelap. Hanya ada sinar matahari menembus masuk dari gorden merah. Meninggalkan warna merah di ubin yang mulai bergurat. Seorang wanita duduk di sofa gantung. Ia Ibu angkat Bihan. Terlihat masih begitu muda dengan rambut yang digerai. Dalam remang, Bihan dapat menyimak kecantikan Ibunya berbalut jubah putih panjang. Senyum wanita itu menyungging, seperti sudah lama menunggu.

Belum lagi Bihan sampai dihadapan sang ibu untuk memeluknya, ia tersungkur. Jatuh, tapi masih sadarkan diri. Matanya menyipit, berusaha mempertahankan fokus pandangannya. Namun ia gagal. Semuanya gelap.

Langit menggelap sepenuhnya, tepat pukul 23.00 Bihan terjaga. Kepalanya masih berputar. Juga perut yang melilit karena tak makan seharian. Ia duduk, menyapu pandang sekeliling kamarnya. Ada banyak mainan di sudut ruangan. Ia berpikir mungkin sang ayah pernah memiliki anak. Pandangannya berhenti di meja kecil persis di sebelah ranjangnya. Ada nampan berisi nasi, sayur, juga segelas susu coklat diatasnya. Ia pernah melihat itu, persis seperti yang ada di tv. Ah, Bihan tersenyum lega. Meski awalnya ragu ternyata ia benar-benar telah mendapat kasih sayang.

Sesendok mulai memasuki mulutnya, ia mengernyit. Rasanya bukan tidak enak, tapi lebih ke aneh. Bihan berpikir mungkin bumbu yang dipakai sang ibu memasak berbeda dengan yang biasa dipakai ibu panti. Juga daging berbalur kecap yang sangat alot, berkali-kali seratnya tertinggal di sela gigi. Namun karena perut yang sudah berontak, ia meneruskan makannya dengan lahap.

Bihan makan sampai tengah malam. Perutnya telah kenyang sekarang. Ia kembali merebah. Didekap guling apek di sampingnya. Matanya beberapa kali berkedip, mencoba untuk terlelap. Tapi gagal, ia malah menengadah. Mengingat sang ibu yang tadi ia tinggalkan begitu saja. Ada rasa bersalah hinggap di hati Bihan. Apalagi saat ia pingsan, pastilah sang ibu yang menyiapkan makan untuknya. Ia terhentak berdiri menuju ke kamar sang ibu untuk berterimakasih, juga memeluk beliau karena tadi tak sempat melakukannya.

Sampai di depan kamar. Saat ia mencoba membuka tapi tidak bisa. Pintu itu tak terbuka sedikitpun dan hanya menghasilkan suara deritan. Sepertinya memang dikunci. Ia menoleh sekeliling. Banyak sekali kamar mengelilinginya, juga 4 tangga menuju ke lantai atas. Ruangan ini mengingatkannya pada rumah di serial india yang sering ditonton ibu panti. Namun di pintu-pintu maupun tangga, sarang laba-laba menempel di setiap sudut. Sangat kotor seperti tak pernah dilalui. Satu-satunya yang terlihat bersih adalah ruangan di sebelah pintu utama. Ia berpikir mungkin itu ruangan ayahnya.
Bihan masuk kesana. Ditemukan sang ayah sedang tidur dengan bertelanjang dada dengan kumpulan kunci tergenggam ditangan. Tapi tak terlihat sang ibu disebelahnya. Bihan mengambilnya pelan. Lalu keluar dari kamar yang sangat pesing tersebut.

Terdapat label di masing-masing kunci. 1, 2, 3, sampai 24. semua kunci di rumah berbeda bentuk dan tipe. Dengan melihat tulisan yang ada di gagang pintu ia bisa mencari tulisan yang sama di badan kunci. Ia menemukannya. Kamar yang tadi ia masuki berlabel 17. Meski tak tahu artinya, Ia tetap berusaha keras membuka.
Brak.
Pintu akhirnya terbuka. Hanya ada gelap yang sangat hitam. Bihan agak takut untuk masuk. Ia hanya memanggil lirih, berharap sang ibu yang ada di kegelapan menjawabnya.
“Ibu... Ibu... ini Bihan, Ibu...” cecar Bihan tiada henti sambil meninggikan suara, namun juga tiada jawaban. Ibunya tidak berada di kamar itu. Ia menutup pintu kayu berukiran dan memandangi kuncinya. Mencoba menerka, apa arti angka-angka ini? 17?
Ia menghitung seluruh ruangan. Dari ujung hingga ujung lagi. Dari pintu yang paling besar sampai paling sempit, begitu juga sebaliknya. Tetap saja kamar ini tak jadi nomor 17. Lalu apa arti 17? Kenapa angka itu menjadi label kunci ini?

Tepat tengah malam. Jam di rumah berdentang keras membuyarkan lamunan Bihan. Ia tersentak kaget, jantungnya berdetak tak karuan mengikuti tiap dentingan. Perlahan jam itu berhenti, suasana kembali sunyi. Tapi Bihan masih tetap memegang dadanya, berusaha menjinakkan gemuruh di jantungnya. Ia termenung sejenak, sambil memandangi jam sialan itu. Ia merasa ada yang bergerak di dalam mulutnya. Telunjuknya mengorek mencoba mencari. Sial! Cacing hitam menggeliat di sela giginya. Aneh sekali. Sisa daging yang dimakannya tadi berubah menjadi cacing. Ia mual, muntah ditempat. Kepalanya kembali pusing.

Setelah beberapa lama mengikuti gerak jarum jam, wajahnya mulai cerah. Ia mengingat sesuatu, yaitu kedatangannya ke rumah pukul 17.25. mungkinkah angka ini menunjukkan keberadaan ibunya berdasakan jam? Ia tak yakin, tapi ada niatan untuk menelisik lebih jauh. Ia mencari angka di kunci, angka 24. Ada tulisan SAS di kunci kecil ini, kemudian Bihan mulai mencari gagang kunci yang bertuliskan sama.  Namun tak ada pintu yang cocok. Pun Bihan telah mencobanya ke segala lubang kunci, tak satupun berhasil. Ia mendongak, dengan langkah mantap mulai menaiki tangga yang panjang. Di lantai atas lebih gelap dari yang ia kira, hanya ada cahaya rembulan menembus atap kaca. Ia mulai mencari, dan mencari. Tepat ditengah ruangan, ia menemukannya.

Ruang itu ternyata kamar mandi. Benar saja, ibunya sedang duduk di atas closet toilet. Tetap dengan pakaian yang sama.
“Ibu, maaf...” Bihan hendak keluar, tapi lengannya dicengkeram sang ibu.
Rasanya begitu dingin. Saat Bihan menoleh, ternyata bukan tangan yang memegang lengannya, melainkan selembar kain. Kain itu adalah jubah sang ibu. Muka Bihan mulai pucat. Sementara sang ibu semakin mendekat, paras cantiknya mengangguk, mengisyaratkan Bihan untuk memeluknya. Bihan menuruti, ia merengkuh badan Ibunya. Tapi kebingungannya bertambah besar. Ia tidak dapat merasakan raga sang ibu, tapi hanya jubahnya. Seberapa jauh ia mencoba memeluk, yang didapat hanya kain beraroma itu. Bihan terbelalak saat menyadari sesuatu. Sang ibu tidak mempunyai badan. Melainkan hanya kepala dengan jubah menempel di lehernya.

‘Tidak! Kau bukan ibuku!” teriak Bihan berusaha mengelak.

Bihan berusaha lari. Tapi kain itu makin erat menjerat lengannya, membuat guratan merah di lengan putihnya. Bihan panik dan menangis, ingin berteriak sekeras mungkin, tapi siapa juga dapat mendengar. Ia menarik keras kain ditangannya, berusaha sebisa mungkin untuk lari, hingga... Krak! Kain tersebut robek. Memperlihatkan bahwa isi jubah tersebut ternyata tidak kosong. Ada beberapa organ menggantung di lehernya, juga usus yang terburai bebas.

Bihan berusaha lari sekeras mungkin. Hantu itu melayang, mengejar Bihan dengan muka geram. Bihan tidak tahu lagi. Ia hanya merasa ingin lari secepat mungkin, sejauh-jauhnya, sampai bentuk menyeramkan sang ibu tak lagi terlihat. Akhirnya ia sampai di pintu utama. Tak perlu mencari kunci yang pas, ia melejit keluar.

Di halaman yang sangat luas, ia bersembunyi di bawah pohon cemara, sambil menggigil karena takut.
Tes! Ada sesuatu menetes di dahinya. Tangannya spontan mengelap. Cairan itu berbau menyengat, mirip seperti aroma kamar sang Ibu tadi sore. Tapi kini ia tidak mual, mungkin karena terlalu takut.
Plek! Wajahnya tertimpa sesuatu yang panjang dan basah. Usus busuk jatuh tepat diatas mulutnya. Terputus dari kepala hantu itu karena sudah mengalami pembusukan parah. Kepala hantu itu mulai perlahan turun dan berhenti tepat di leher Bihan. Dengan sangat bernafsu taringnya mencuat, hendak menyedot darah anak malang itu.

Duak!
Hantu itu terpental. Kepalanya menggelinding jauh, terpisah dari organ dalamnya. Bihan dengan cepat lari mengikuti penolongnya. Tak berapa lama mereka sampai di pantai asuhan kuno lagi.

"Terimakasih, Teman!" ucap Bihan dengan mata berbinar kepada penolongnya. Tak lama Bihan mengantuk, ia tertidur di bawah pohon cengkeh.
***

Pagi harinya saat matahari bersinar terang, Bihan riang bermain dengan temannya di halaman belakang. Juga dengan penghuni panti baru, namanya Amri. Ibu panti selalu berkata, saat ia melihat Amri, ia seperti melihat Bihan, anak asuhnya yang malang. Anehnya saat ibu panti memanggil Amri untuk pulang di sore hari, Bihan tidak pernah diajak serta.

Beberapa tahun kemudian Amri diadopsi oleh orang tua asuh Bihan. Bihan dan temannya tentu sedih. Sama dengan Bihan dulu, ia sampai di sana petang hari. Pertama kali masuk, ia tidak mencari ibunya.
"Ayah, dimana tangga menuju kamar ini?" tanya Amri sambil menunjuk kunci angka 24.
"Disana. Kenapa Nak?" Sang ayah balik bertanya.
Tapi Amri tak acuh dan melenggang pergi menuju tempat yang ditunjuk ayahnya. Matanya memanas,  ia merengkuh tengkorak kecil. Juga tulang belulang yang berserakan.
"Izinkan aku mengubur Bihan. Meski ia sekarang sudah tidak berjasad."
Sang Ayah mengangguk pasrah.

Rinai hujan mengiringi pemakaman Bihan. Melandai bersama isak Amri juga sang Ayah.

Sampai tengah malam, mereka berdua masih terjaga. Ingatan tentang Bihan membuat mereka merasa berdosa. Sang Ayah mulai bercerita mengenai masa lalunya. Dulu Ia hidup bahagia bersama sang istri. Mereka sama-sama masih belia. Ia sangat menginginkan anak meski usianya masih belasan tahun. Tetapi sang istri menolak. Karena cek-cok yang terjadi tiap hari, juga emosi mereka berdua yang masih labil. Sang istri selalu bersembunyi di beda tempat di tiap jamnya. Sampai ia benar-benar hafal dan bisa menebak dimana istrinya berada. Istrinya jadi stres hingga mencoba bunuh diri. Rasa bersalah karena menyengsarakan istrinya membuat ia semakin marah. Ia membunuh istrinya. Dan memakamkan jasadnya kecuali kepala dan organ dalamnya. Kemudian mengikatkan jubah putih di leher istrinya. Juga memakaikan minyak melati setiap hari. Namun begitu, ia tetap menginginkan anak hingga kini. Ia tidak tahu bagaimana anak yang diadopsi selalu menghilang begitu saja. Sampai pada akhirnya hantu istrinya juga hilang bersama dengan Bihan. Bertahun-tahun ia tidak mengerti, bahwa jasad Bihan berada di bawah tangga rumahnya. Tengkorak istrinya telah ia makamkan sebelum mengadopsi Amri. Ia berharap bisa memulai hidup yang normal. Sebagai ayah yang dicintai, bukan sebagai pembunuh. Derai air mata menutup cerita sang ayah. Ia menunduk, antara rasa bersalah dan malu.

Sementara Amri menyimak dengan datar. Anak indigo ini sudah biasa menerima cerita sadis seperti itu.
“Bagaimana ceritamu, Nak?”
“Apa?” Amri menjawab sesukanya.
“Ayah sudah menceritakan semuanya. Bagaimana denganmu? Ceritakan asal-usulmu Nak.”
“Aku tak perlu bercerita. Tak semua yang ada di dunia harus diketahui orang. Ada beberapa hal yang patut dirahasiakan.” Amri melenggang pergi, kemudian menyantap daging berbalur kecap yang tersedia di samping ranjangnya.

###





                                


Komentar

Postingan populer dari blog ini

POST : 18 Review Say Bread, Roti menggoda ala Indomaret

POST : 10 PENGUMUMAN

POST : 4 Tips menjadi Kakak Beradik Bahagia